Rabu, 22 Desember 2010

Siti Hadjar Selalu Bersama Kita


Kita mulai saja dari kisah Siti Hadjar. Ketika itu Siti Hadjar ditinggal oleh suaminya Ibrahim a.s di suatu padang pasir yang tandus nan gersang. Saat itu pula Hadjar hanya bersama anaknya Ismail yang masih bayi. Di tempat itulah Hadjar hanya berdua bersama Ismail yang masih bayi itu tinggal. Jika malam datang kedinginan, jika siang kepanasan.
Dengan sabar dan tabah Hadjar menjalani ujian Allah tersebut. Sampai ketika Ismail yang kehausan dan kelaparan mulai menangis dengan kerasnya. Hadjar berusaha untuk mendapatkan air di sekitar tempat itu. Hadjar naik ke bukit di kanan Ismail (shofa) tak ia temukan air. Lalu ia lari ke bukit di kiri Ismail (marwah) tak juga ia temukan air barang setetespun.
Ketika ia di puncak marwa, Hadjar melihat bayangan air di puncak shofa. Lantas ia naik lagi ke shofa yang tadinya dinaiki. Sesampainya di puncak Shofa, tak ada setetespun air di sana. Lalu ia melihat lagi ke puncak marwah yang tadinya juga ia daki ada bayangan air. Kemudian ia kembali lagi ke bukit marwah. Sampai di puncak marwah, tak juga ditemukan air.
Tangis dari Ismail yang membuatnya terus berusaha untuk mendapatkan air. Tujuh kali Hadjar berlari bolak-balik dari bukit Shofa ke bukit Marwah hanya untuk mendapatkan air. Barulah ia menyadari bahwa bayangan air itu hanyalah fatamorgana akibat panasnya matahari.
Selagi Hadjar hampir dalam batas keputusasaannya, ia melihat ke arah Ismail yang menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Ia melihat sesuatu yang berkilau-kilau. “Airkah itu?” pikirnya. Mendekatlah Hadjar kepada Ismail, dan betapa bahagianya ketika yang berkilau tadi adalah sumber air yang memancar. Diraihnya ismail, dipeluknya dengan erat dan diciuminya. Lalu mereka minum air itu dengan sepuas-puasnya.
Dan itulah jawaban Allah kepada umat-Nya yang sungguh-sungguh beriman. Seorang ibu rela untuk lari pontang-panting demi anaknya yang kehausan. Ibu tak memikirkan dirinya untuk anaknya. Naluri seorang ibu jauh di atas naluri seorang biasa. Sampai-sampai seorang ibu bisa merasakan hal yang ada dalam benak anaknya, sekalipun anak tersebut tidak mengungkapkannya.
Ibu oleh Nabi Muhammad SAW diberikan tempat tertinggi. Beliau menyebut ibu sampai tiga kali, baru menyebut ayah. Begitu tinggi penghargaan untuk seorang ibu. Lantas, bagaimana dengan ibu kita? Ibu yang telah bertaruh nyawa untuk melahiran kita di dunia. Pernahkah kita menempatkan ibu kita dalam tingkatan paling atas dalam daftar nama yang kita hormati dan sayangi?
Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Namun bagaimana sekarang, apakah kalimat itu masih pantas untuk dikatakan? Kita saja sebagai anak jarang juga menatap dengan tertunduk melihat kaki ibu kita. Yang ada sekarang yakni menatap wajahnya lekat-lekat dengan raut muka kita merah padam dan berkata, “bawel banget sih mama!”. Sadar atau tidak mungkin kita pernah bertindak seperti itu.
Kesalahan memang tak pernah luput dari seorang manusia. Dan seyogyanya ketika berbuat salah hendaknya minta maaf. Dengan ibu? Diantara kita mungkin kata maaf untuk ibu hanya terucap sekali dalam setahun, yakni ketika lebaran. Padahal kan ibu tiap hari, dan bahkan tiap waktu ada bersama kita. Tapi bagi ibu lain. Beliau selalu memaafkan setiap tindakan kita yang salah, tanpa harus kita minta maaf kepadanya.
Ibu rela dengan setulus hati memberikan apapun yang kita minta. Kita yang bisanya hanya minta dan meminta, tak pernah berpikir bagaimana cara ibu mendapatkannya. Yang penting adalah apa yang kita minta itu ada. Padahal jauh di sana ibu mati-matian untuk mendapatkan apa yang kita minta. Sebut saja uang. Ketika kita minta uang pada ibu, sekalipun ibu benar-benar tidak punya sedikitpun beliau pasti bilang “iya”. Dan dibalik itu tanpa sepengetahuan kita beliau pinjam kesana-kemari hanya untuk membahagiakan kita dan melihat kita bahagia.
Ibu bisa dikatakan sebagai seorang yang berhati Siti Hadjar. Dengan segala kerendahan hati, ketulusan, dan rasa cinta kasihnya kepada kita menjadikan sosok ibu adalah seseorang yang spesial untuk kita. Namun kita bukanlah ismail yang santun, yang berbakti kepada orang tua, dan yang baik budi pekertinya. Namun kita juga tak bermaksud dan tak ibgin menjadi seorang Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya. Lalu sebenarnya diri kita ini siapa?
Mungkin ibu kini menangis dalam hatinya secara diam-diam ketika melihat kita yang sekarang. Membayangkan apa yang akan diterima kelak di akhirat karena perilaku kita. Kita yang diharapkan bisa menjadikannya tersenyum, malah menjadikannya menangis sedih. Ibu menyembunyikan hal tersebut hanya karena beliau tak ingin kita mengetahui bahwa sebenarnya beliau sedang sedih karena kita.
Saat ini ketika kita dekat dengan ibu makanan tak pernah terbengkalai. Pagi bagun tidur makanan untuk sarapan telah siap di meja. Suasana jelas akan berbeda ketika kita bangun tak ada lagi makanan di meja yang sudah siap untuk disantap. Yang kita lihat hanyalah ruang dapur dengan keadaan sepi. Ibu yang dulu selalu sibuk memasak di sana, kini sudah tak tampak lagi kesibukan di sana. Ketika kita ingat hanyalah tetasan air mata yang menjawabnya. Tak ada lagi lembut tutur katanya dan desah nafasnya.
Sekarang adalah keputusan kita. Air susu ibu yang dulu beliau berikan dengan ikhlas untuk membesarkan kita hingga tumbuh menjadi seorang yang dewasa, akan kita balas dengan air yang mengalir dari neraka yang penuh dengan kenistaan ataukah air dari surga yang penuh dengan kesejukan. Karena kita ingat bahwa sesungguhnya restu Allah adalah restu ibu, dan murka ibu adalah murka Allah.

Kamis, 02 Desember 2010

Mereka Adalah Kupu-kupu Kecilku


Sore itu, 6 November 2010 mentari memberikan sinarnya yang menguning. Tidak terlalu terik dan juga tidak terlalu redup, tetapi cukup cerah. Sinarnya yang terbingkai dalam balutan awan putih tipis nan halus dan berpadu dengan debu menjadikan pancaran sinar tersebut masih bisa menembusnya. Sore itu memang tak seperti biasanya, karena sore di bulan November ini terlalu banyak dihabiskan dengan linangan hujan yang kerap kali turun, yang entah itu dengan intensitas ringan, sedang, sampai deras sekalipun. Yang menjadi beda di sore awal November itu adalah jalan-jalan masih terbungkus dengan debu vulkanik merapi yang sedari kemarin menghiasi bumi Yogyakarta.

Sabtu sore, jam kamarku menunjuk 15.55. Aku pun bergegas meninggalkan tempat tidurku, yang kata tanteku seperti kapal pecah yang hendak karam dimakan gelombang pasang itu, menuju kamar mandi. 15.55, berarti aku hanya punya waktu lima menit lagi untuk mandi sekaligus berdandan sebelum berangkat TPA sore ini. Tak apalah, laki-laki tak perlu waktu banyak untuk melakukan prosesi mandi kataku. Lain halnya dengan perempuan, perlu waktu sedikit lebih lama untuknya dalam melakukan prosesi mandi tersebut.

Baju batik orange lengan panjang pemberian dari lembaga TPA itu kini aku kenakan berpadu dengan celana panjang hitam. Baju batik yang sekitar tiga tahun lalu diberikan oleh pengurus TPA kepada para pengajar yang rajin berangkat TPA, masih cukup cerah menghiasi tubuh ini. Memang dulu ketika pengurus TPA masih terkoordinir dengan baik, mereka memberikan “reward” kepada para pengajar yang rajin berangkat TPA dengan memberikan sepotong kain batik sebagai wujud terima kasihnya. Tapi untuk mereka yang kurang aktif, juga diberikan “reward” dalam bentuk lain yang sepantasnya. Hal tersebut memang dulu bisa mendatangkan sebuah semangat bagi para pengajar dalam mengurus TPA.

Setelah sholat ashar, kuambil sepeda “jengki” ku yang sudah mulai berkarat. Kukayuh sepeda itu menuju masjid yang terletak sekitar 300 meter dari istana keluargaku. Sebelum berangkat, kutengok jam dalam hp ku 16.10, berarti sudah telat sepuluh menit, pikirku. Sepeda langsung saja aku arahkan menuju halaman masjid yang tidak terlalu luas, tapi cukup bisa dikatakan sebagai sebuah halaman. Masjid Nurullah, begitulah nama masjid yang terletak di sebuah dusun 17 Km arah barat dari tugu kota Yogyakarta. Ya, dusun itu adalah Klepu, tepatnya di kelurahan Sendangmulyo, kecamatan Minggir, yakni salah satu kecamatan paling ujung barat dari kabupaten Sleman.

Ketika orang mendengar nama dusun Klepu, mungkin yang terlintas dari mereka adalah tentang sebuah gereja yang berdiri tepat di pinggiran jalan utama penghubung antara Kulon progo dengan pusat kota Yogyakarta tersebut. Memang dari tahun ke tahun, gereja itu semakin menunjukkan kemegahannya. Padahal jika mereka tahu, hanya warga sekitar gereja itulah yang memeluk nasrani. Warga yang tinggal lebih dalam di dusun klepu sepenuhnya adalah warga muslim. Oleh karenanya, hal itulah yang mendorong kami selaku umat muslim di klepu untuk tetap bisa “menjaga diri” dengan keadaan yang demikian. Keteguhan iman kami insya Allah akan tetap tertanam di dalam hati, dan semoga Allah akan selalu bersama orang-orang yang beriman.

Masjid Nurullah Klepu, nama itu terpampang di bagian depan tembok masjid. Karena bertempat di masjid yang sama, maka TPA itu diberi nama TPA Nurullah Klepu, yang berdiri sekitar dua belas tahun silam. Dan kini aku sebagai generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan kakak-kakak seniorku dalam menghidupi kehidupan TPA. Layaknya roda yang berputar kehidupan TPA Nurullah juga mengalami pasang surut, baik dari sumberdaya pengajar, hingga keadaan santrinya. Dalam kisah ini hanya aku ceritakan tentang keadaan TPA Nurullah yang ada sekarang.

Alhamdulillah, ketika aku sampai di masjid ternyata TPA sudah di buka oleh Mas. Aan yang kebetulan adalah kakak sepupuku sendiri. Lima belas santri, terdiri sepuluh santriwan dan lima santriwati. Pengasuh (kami tidak menyebut sebagai uztadz/ah pada diri kami karena kami merasa belum pantas dengan sebutan tersebut) sore itu ada empat orang, Mas Aan, Mbak Uliya, Mbak Vivin, dan aku sendiri. Terkadang mbak Esti juga masih turut ikut membantu, namun sore itu ia mungkin sedang tidak bisa berangkat. Dan kelima orang itulah yang kini senantiasa menghidupi dan mengurus TPA Nurullah. Setelah dibuka dengan doa, selanjutnya adalah proses pengajaran mengaji.

Mengajari anak-anak umur lima sampai sepuluh tahun bukanlah hal yang gampang. Kesabaran harus selalu ditanamkan dalam diri pengasuh TPA. Kadang tangis dari anak-anak itu pun tak pernah luput pada saat berlangsungnya kegiatan TPA. Seperti pada penggambaran Kang Ali Imran El Shirazy dalam novelnya Dan Bidadari pun Mencintaimu, yang melukiskan kehidupan TPA yang diasuh oleh Pelangi. (walaupun sebenarnya alur utama dalam novel itu tidak menceritakan kehidupan TPA, namun ternyata kehidupan TPA juga bisa menjadi sebuah bagian pembentuk warna dalam sebuah novel)

Sore itu memang tak seberapa banyak santri yang berangkat, karena debu vulkanik merapi yang jumat kemarin mengguyur Yogyakarta masih juga terasa dampaknya. Hingga pengajaran santri untuk mengeja iqra dan al-Quran saat itu tidak memakan waktu lama. Dan di akhir perjumpaan, mas Aan memberikan suatu permainan. Santri-santri yang datang disuruhnya untuk menulis tentang apa yang hendak mereka lakukan jika gunung merapi meletus. Dengan segala keluguan mereka yang mayoritas masih seumuran SD, banyak hal yang mereka luapkan. Ada seorang santri yang menulis, “ketika gunung merapi meletus rumah saya akan saya bungkus dengan plastik”. Jawaban yang polos dari mereka yang masih polos juga. Dan masih banyak jawaban yang mereka lontarkan pada secarik kertas yang kini menempel di papan serambi masjid. Sampai akhirnya TPA sore itu ditutup dengan lantunan doa yang dilafalkan bersama-sama.

Jabat tangan antara mereka dan kami sebagai pengasuh mengantarkan perpisahan diantara kami sore itu. Mereka, adalah santri-santri kami yang semangat untuk datang ke masjid untuk TPA guna mengaji. Mereka yang tanpa ada hambatan untuk tetap berangkat meski debu merapi masih menyisakan bekasnya. Salut, haru dan bangga adalah perasaan kami khususnya aku saat itu kepada mereka. Mereka adalah bagian hidupku, dimana aku bisa belajar untuk menghargai apapun yang ada dalam diri mereka. Dan juga aku belajar memahami karakter mereka yang kini sedang berkembang. Aku merasa dihargai oleh mereka, tetapi terkadang aku juga merasa kalah dengan mereka. Jikala Kangali menggambarkan Ghozali saat mengajar TPA nya Pelangi, ‘kalah akan “kesibukan” anak-anak laki-laki yang tidak bisa ia hentikan sepenuhnya, bahkan ketika ia hanya menjadi sebuah “iklan” untuk “siaran” mereka. Kalah akan senyum menggoda dan kemanjaan-kemanjaan anak-anak perempuan yang belum bisa ia “selami”, pun dengan “gaya batu”’ (Dan Bidadari pun Mencintaimu : 94), memang itu benar adanya, dan aku rasakan itu.

Namun hal tersebut bukan lah suatu bentuk halangan atau hambatan untukku. Justru itu adalah suatu tantangan untukku sebagai pengasuh bagaimana harus bisa menempatkan diri sehingga bisa ada bersama mereka. Belajar untuk memahami karakter mereka, itulah yang aku lakukan. Walaupun memang kadang sering kesulitan untuk menemukan celah agar bisa berada di tengah-tengah mereka, tapi sedikit demi sedikit akhirnya juga bisa menemukan. Dengan gayaku sendiri, mereka cukup bisa menerimaku.

Alhasil ketika mereka aku bawa bermain atau pun bercerita, mereka akan hanyut bersamaku. Di saat itulah aku ajarkan mereka tentang kebaikan-kebaikan yang akan mendapatkan ridho dan pahala dari Allah. Pelajaran formal yang monoton bagi mereka mungkin sudah tiap hari mereka dapatkan di sekolah. Namun di TPA, mereka tidak ingin pelajarannya seperti sekolah yang kadang menjemukan tersebut. Sehingga aku ajak mereka untuk bermain dan bercerita untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Dengan begitu mereka akan senang untuk menerima permainan ataupun cerita yang aku sampaikan dan sebenarnya tidak mencolok bahwa didalamnya tertuang pelajaran.

Dan begitulah kini kami sebagai pengurus TPA yang makin hari kian memprihatinkan. Bagaimana tidak, pada suatu waktu diantara kami mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Dan pada saat TPA tersebut hanya aku dan mas Aan yang datang ke TPA. Hanya berdua menghadapi santri yang jumlahnya sampai dua puluh lima lebih waktu itu. Dari hal itulah kami, khususnya aku prihatin ketika santri-santri semangat untuk datang ke TPA tetapi mereka tidak begitu maksimal untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di TPA. Dan bahkan ketika mereka telah berniat untuk TPA tetapi sampai di TPA tak ada satupun pengasuh yang datang, maka itulah hal paling berdosa bagiku sebagai pengasuh TPA. Sampai suatu saat, diantara kami saling berjanji untuk terus menghidupi kehidupan TPA selama kami masih bisa. Amanah yang kami emban dari wali santri lah yang menjadikan kami terus berusaha untuk demikian.

Pada suatu kesempatan wali santri pernah berpesan kepada kami, “mas nderek Ma’ruf nggih!” (mas nitip Ma’ruf Ya!) yang kami artikan untuk membimbing Ma’ruf untuk menjadi seorang anak yang sholeh. Hal terberat ketika amanah itu harus dilaksanakan dengan baik. Tetapi dengan tekad kami, keyakinan kami, Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang selalu berjuang di jalan-Nya.

Bagiku, TPA Nurullah adalah bagian dari hidupku saat ini. Aku yang dulu telah dibesarkan oleh TPA Nurullah, maka kini saatnya bagiku untuk mengabdi kepada TPA yang pernah membesarkanku dan membuatku menjadi seseorang yang ada untuk mereka kupu-kupu kecil penghias taman langitku sekarang. Mereka adalah kupu-kupu kecil penghias sekaligus pesona yang memberikan sejuta warna keindahan dalam taman langit kehidupanku. Ya, mereka adalah santri-santi penghuni TPA. Mereka kini ada bersamaku, tak ingin aku berpisah karenanya. Bukan karena sekedar mereka adalah anak-anak yang belajar mengaji, tetapi lebih jauh mereka adalah penerus perjuanganku kelak ketika aku harus berpindah pada suatu tempat yang berbeda.

Aku bangga menjadi seorang pengasuh TPA, walaupun ini masih jauh dari yang diharapkan oleh mereka yang mengerti tentang TPA yang sebenarnya. Tapi di sini, TPA Nurullah Klepu yang ada saat ini, mengaji adalah kegiatan utama yang harus berlangsung. Mereka lancar membaca iqra’ dan al-Quran saja kami, aku khususnya, sudah merasa bangga kepada mereka. Walau kadang ketika mempunyai lebih waktu, sering kita selingi dengan permainan atau bercerita agar mereka tidak jenuh. Bersama mereka insya Allah akan kuperpanjang umur dunia ini.

Pada akhirnya, aku adalah pengasuh TPA Nurullah Klepu. Dengan segala kondisi yang ada saat ini, aku berharap kepada engkau sahabat, mas Aan, mbak Vivin, mbak Uliya, mbak Esti, dan semua yang peduli dengan TPA Nurullah, marilah kita tetap istiqomah dalam berjuang di jalan Allah ini. Amar ma’ruf nahi mungkar yang tertuang dalam mars TPA Nurullah tetap menjadi tujuan kita. Hujan jangan jadikan sebuah hambatan kita untuk mereka yang senantiasa menanti kita di TPA. Yakinlah kelak Allah akan memberikan sesuatu yang indah diluar dugaan kita. Mereka, para santri kita adalah anak-anak hebat penerus kita. Kini mereka bersama kita, dan mungkin berharap akan selalu bersama kita. Tegakah kalian jikala mereka harus berenang di lautan kehidupan yang kini semakin tidak jelas dengan segala tantangan yang begitu kompleks tanpa adanya sesuatu sebagai penyelamat untuk mereka?

Sobat, kitalah yang akan menyelamatkan mereka. Dengan cara inilah kita akan menyelamatkan mereka. Oleh karenanya, insya Allah kita juga akan menjadi orang yang hebat kawan. Karena “sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Biarlah orang yang tak mengerti keadaan kita sekarang mencemooh kita dengan segala kesombongannya. Biarkan mereka memandang kita dengan pandangan yang rendah. Selama kita berada di jalan yang di ridhoi-Nya, insya Allah, Allah akan selalu menyertai kita. Sabar, rendah hati, dan ikhlas, itulah yang selayaknya ada pada diri kita sekarang. Wallahu musta’an. Semoga Allah menolong kita. J

*) catatan:

Dalam novel Dan Bidadari pun Mencintaimu karya Ali Imran El Shirazy TPA adalah salah satu hal yang dijadikan sebagai pembentuk alur dalam perjalanan cerita. Oleh karenanya aku salut dengan kangali yang menjadikan hal tersebut dalam novelnya. Seperti itu pula kisah ini. Di sini TPA adalah sebagai alur perjalanan kehidupanku, terutama saat ini

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Selasa, 19 Oktober 2010